Bismillah.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, salah satu nikmat agung yang sering dilupakan adalah nikmat berupa taufik atau kemudahan dalam beramal. Tidaklah diragukan bahwa amal salih merupakan sebab untuk meraih kebahagiaan. Amal salih yang dibangun di atas ilmu.
Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)
Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman niscaya Kami akan berikan kepada mereka kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan kepada mereka balasan yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97)
Kemudahan untuk beramal ini salah satunya adalah berupa nikmat kesehatan dan waktu luang. Dua buah nikmat yang telah disalahgunakan oleh kebanyakan orang sehingga membuat mereka harus menanggung kerugian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua nikmat yang membuat tertipu dan merugi kebanyakan orang, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Abu Hazim rahimahullah mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak semakin menambah dekat kepada Allah maka sesungguhnya itu adalah musibah/malapetaka.” Sungguh benar apa yang beliau ungkapkan. Banyak orang ketika diberikan nikmat justru menelantarkannya. Dia tidak mensyukurinya, bahkan sekedar memuji Allah dengan lisan pun seolah beratnya bukan main.
Banyak orang lupa akan siapa yang memberikan nikmat itu kepada mereka. Hanyut dalam samudera nikmat membuat orang merasa bahwa nikmat ini adalah miliknya sendiri; terserah dia gunakan untuk apa. Padahal sejatinya tidak demikian. Apa yang kita miliki berupa harta, kedudukan, fasilitas kehidupan, adalah pemberian dari Allah. Nikmat yang kelak harus dipertanggungjawabkan. Untuk apa nikmat itu digunakan. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)
Manusia akan merasakan berharganya nikmatnya kesehatan ketika nikmat itu tercabut, demikian pula nikmat waktu luang. Begitu pula nikmat-nikmat yang lain semacam keamanan, ketenangan, dan terbebas dari ancaman wabah. Maka demikian pula nikmat kehidupan di alam dunia ini akan benar-benar dirasakan ketika orang sudah masuk ke alam akhirat. Ketika itu orang kafir berdoa kepada Allah agar dikembalikan ke alam dunia; untuk apa? Untuk beramal salih; sesuatu yang dahulu dia telantarkan dan dia tinggalkan. Penyesalan yang tiada lagi berguna…
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu menasihatkan, “Dunia ini berangkat pergi sedangkan akhirat sedang datang dari arah depan. Maka jadilah kalian sebagai anak-anak pengikut akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak-anak pemuja dunia. Karena sesungguhnya hari ini/dunia adalah kesempatan untuk beramal dan belum ada hisab, sedangkan besok/akhirat adalah waktu penghisaban/penghitungan amal dan tidak ada lagi kesempatan untuk beramal.”
Inilah kehidupan dunia yang sekarang sedang kita jalani bersama. Anda hari ini masih bisa melihat terbitnya matahari dari arah timur. Anda bisa menghirup udara segar tanpa harus membayar biaya sepeser pun. Anda masih bisa mendengar kicauan burung dan gemercik air sungai. Anda bisa menikmati makanan dan minuman. Sementara sebagian orang di dunia ini telah tercekam oleh rasa khawatir, penyakit yang menakutkan, dan wabah yang membinasakan. Sesungguhnya kesusahan di dunia ini adalah sebentar dan sementara. Adapun kesusahan dan azab di akhirat itu sangatlah lama. Ia lebih menyakitkan dan lebih pahit. Apabila orang yang sakit di dunia ini terhalang dari makan dan minuman kemudian diganti dengan infus, maka kelak di akhirat para penghuni neraka terhalang dari kenikmatan surga, seteguk minuman nikmat pun tak bisa mereka dapatkan…
Allah berfirman (yang artinya), “Dan para penghuni neraka berteriak memanggil penduduk surga; ‘Hendaklah kalian berikan kepada kami sedikit air -dari surga- atau sebagian dari apa-apa yang Allah berikan rezeki itu kepada kalian.’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya bagi orang-orang kafir.’.” (al-A’raf : 50)
Saudaraku yang dirahmati Allah, makanan dan minuman yang setiap hari kita konsumsi adalah nikmat dari Allah. Apabila nikmat-nikmat itu tidak kita syukuri maka energi yang dihasilkan dari makanan dan minuman itu justru akan menjelma menjadi malapetaka di hari kiamat. Orang sering lupa akan siapa yang memberikan nikmat dan rezeki kepada mereka. Mereka sering lalai memuji Allah. Sebagaimana orang sering lalai dari mensyukuri nikmat melanjutkan hidup setelah terlelap dalam tidur. Dan yang lebih memprihatinkan banyak orang lalai dan melupakan nikmat Allah berupa diutusnya para nabi dan rasul. Padahal Allah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar; sesuatu yang akan membimbing manusia untuk masuk ke dalam surga…
Dari sinilah kita bisa menyadari bahwa kesempatan dan kemudahan dalam beramal adalah anugerah dari Allah yang luar biasa besar dan berharga. Karena dengan nikmat itulah manusia menyadari tujuan penciptaan dirinya. Dengan nikmat itulah dia bisa mewujudkan rasa syukur atas nikmat diutusnya para nabi dan rasul. Bukankah kemudahan untuk beramal itu semakin terasa mahal dan sangat berharga pada saat kita mulai terhalang dari melakukan amalan-amalan?
Akan tetapi -Maha Suci Allah dan kita mohon ampun kepada-Nya- sungguh betapa banyak kita jumpai orang dengan mudah meremehkan nikmat-nikmat Allah itu. Bahkan yang lebih parah apabila orang menganggap nikmat itu adalah beban bagi kehidupannya. Orang yang telah diberi nikmat syari’at tetapi dia justru memusuhi dan enggan mengamalkannya. Orang yang diberi nikmat berupa kesempatan mengabdi dan memperjuangkan agama tetapi dia justru menukarnya dengan harga rendah (dunia) yang tidak lebih berharga dari sehelai sayap seekor nyamuk!!
Kita berlindung kepada Allah dari kesesatan dan murka-Nya. Wahai para pecinta dakwah; bukankah jalan dakwah ini adalah jalan terbaik yang anda jalani. Mengapa anda justru ingin meninggalkannya? Apakah anda hendak menukar surga yang penuh kenikmatan tiada tara dengan rendahnya dunia dengan segala kerepotannya? Bukankah dakwah tauhid ini yang membuat orang mulia? Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata. Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108)
Tetaplah berjalan di atas kebenaran, wahai saudaraku yang mulia. Sebagaimana telah dikatakan oleh para pendahulu kita, “Hendaklah kamu berjalan di atas kebenaran, dan jangan merasa gelisah karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Jauhilah jalan-jalan kebatilan; dan janganlah kamu menjadi gentar karena banyaknya orang yang binasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing, dan ia akan kembali menjadi asing seperti ketika ia datang. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim)